Fenomena Tawuran antar Pelajar dan Penyebabnya

Fenomena tauran antar pelajar akhir-akhir ini semakin marak terjadi di Indonesia. Meskipun selama ini pemerintah, lenbaga pendidikan dan juga masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah hal tersebut, tapi  kejadian ini tetap saja terjadi. Ini menjadi tugas bagi para instansi-instansi terkait untuk lebih meningkatkan dan mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan dalam mengatasi fenomena tauran antar pelajar.

Hal ini sangat tragis dan ironis sekali karena tauran antar pelajar melibatkan anak-anak muda yang mempunyai intelektual, yang nantinya akan menjadi para penerus bangsa ini. Apabila kejadian ini dibiarkan terus menerus , maka bisa dipastikan masa depan bagsa ini akan semakin suram. Maka dari itu perlu adanya tindakan nyata yang harus segera dilakukan untuk mencegah tauran antar pelajar.

Pada zaman saat ini, tauran bagi para pelajar sudah bisa dikatakan menjadi trend, kebanggaan, tradisi atau bahkan sudah membudaya. Hal ini perlu adanya suatu tindakan yang jelas dari pihak-pihak yang berwenang seperti keluarga, lembaga pendidikan dan konstitusi pemerintah. Berbagai macam penyebab tauran antar pelajar dari hal yang sepele sampai hal-hal yang formalitas.

Tauran antar pelajar sering kali identik dengan hal-hal dalam pemuasan diri-pribadi atau sekelompok tertentu yang berada di dalamnya. Akibatnya sikap egosentrisme yang mereka tonjolkan mengarah pada kebiasaan buruk. Dan apabila pemenuhan dan keinginan tersebut tercapai maka mereka para pelajar akan senantiasa merasa bangga meskipun bersifat negatif.

Memang dalam hal ini, generasi muda yang merupakan cikal-bakal generasi bangsa tentunya perlu pengarahan, bimbingan dan tindakan yang bersifat meluruskan dan tidak menyebabkan adanya perlawanan. Sehingga generasi pelajar bisa menjadi penerus bangsa yang memiliki moralitas tinggi, berintelektual dan berkecerdasan.

2.    Penyebab Tauran Antar Pelajar

Penyebab terjadinya tauran antar pelajar disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor internal dan eksternal

1.faktor Internal(Diri Sendiri)

Remaja cenderung mengundang resiko, masa omantisme dan nostalgia orang dewasa terhadap masa itu berada sekitar eksploitasi masa remaja yang mengundang resiko. Disatu pihak, remaja memiliki kemampuan orang dewasa, tetapi dilain pihak belum memiliki kewenangan untuk menggunakan kemampuan itu.

Keterbatasan perspektif remaja menyebabkan remaja sulit menunda pemuasan keinginan seketika, sehingga remaja lebih mirip anak kecil yang berbadan besar dari pada orang dewasa. Disamping itu, seorang remaja masih memiliki tingkat emosi yang masih labil.

Aspek kedua pada remaja adalah pemberontakan yaitu ketegangan wajar yang terdapat antar remaj dan otoritas sebagai suatu dinamika dalam pengembangan individuasi. Jika seorang remaja mampu mengatasi masalah ini dengan mengembangkan jati dirinya di suatu pihak dan menghormati otoritas dilain pihak maska proses ini akan menuntun seorang remaja menjadi dewasa.

Suatu hal yang penting dalam pembentukan individuasi adalah kekuatan dan kemampuan. Yaitu mengetahui apa yang dininginkan dan dipikirkannya, bebas dari apa yang mungkin diinginkan atau dipikirkan oleh orang lain, namun kemauan bebas tanpa kemampuan merencana dan menunda pemuasan keinginan seketika(kendali diri) adalah penyebab utama dari faktor dorongan untuk melakukan suatu perbuatan yang bebas. Dan akan bisa menyebabkan adanya suatu interaksi yang dapat mengundang protes dan bahkan terjadi penyimpangan. Dari penyimpangan itulah akan berkoonsekuensi pada pihak individu sosial lain sehingga terjadi tauran dan sebagainya.

2. Faktor Eksternal

1.  Keluarga(Orang tua)

Remaja yang terlalu dikendalikan orang tua akan gagal memenuhi funhsi kemandirian orang dewasa, sehingga dia tidak mampu menghargai dirinya sebagai individu yang mandiri. Berlainan dengan penampilan luarnya remaja ini sangat rawan terhadap tekanan kelompok sebaya. Mereka akan mudan menyerahkan tuntutan pada oranag lain dan mencari kebebasan semu pada teman sebayanya untuk menggantikan fungsi dari oranag tua. Respon lain dari orang tua yang tidak mendorong fungsi indiviiduasi anak adalah orang tua yang mengabaikan tanggung jawab terhadap pernyataan kemauan anak. Oranag tua, agama dan budaya memberi nilai-nilai dan batasan- batasan serta tradisi dan ritual pada seorang anak yang baiik dan penting bagi pengenbangan kendali diri yang merupkan penyeimbang pada kemauan bebas orang dewasa.

Orang tua tidak dapat mengabaikan tanggung jawabnya dalam dimensi rohani. Perkembangan jati diri yang sehat tergantung pada keseimbangan anatara keinginan pribadi dan kemauan di satu pihak, dan dipihak laik kendalai diri serta nilai-nilai sosial. Orang tua menjadi model (teladan) baik dalam minat sosial maupun minat pribadi dari seorang anak. Jika orang tua memilki rasa belas kasihan dan kasih sayang, bukan dendam, benci atau egois, maka seorang remaja akan sanggup melampaui kekuatan kelompok sebayanya. Sehingga dia tidak menjadi korban dari pemngaruh kelompok sebaya yang berlebihan. Sebaliknya jika tidak ada model dalam nilai, atau orang tua lalai memperhatikan perkembangan moral anak, maka akan mudah terpengaruh pada kelompok sebayanya.

Jika proses individuasi berhasil, kepribadian yang muncul adalah gabungan model yang diperolaeh dari orang tua, masyarakat, dan pengalaman pribadi. Kepriadian seorang remaja yang demikian ditandai dengan kekuatan, kemauannya dan integritas dirinya sehingga hidupnya dipimpin oleh nilai etika dan idealis. Nilai-nilai diturunkan dari generasi, melauli dua lembaga sosial yakni budaya dan keluarga. Orang tua melalui perkataan dan perbuatannya adalah penerus utama nilai-nilai sosial bagi seorang remaja yaitu tentang bagaimana berprilaku (etika), prioritas (nilai-nilai) dan tujuan (cita-cita) yang dilakukan melalui tradisi dan enkulturasi.

2.Tekanan Kelompok Sebaya

Tekanan kelompok sebaya berpengaruh kuat terhadap terjadinya tauran antar pelajar. Semua remaja pasti merasa cemas jika di tolak oleh lingkungannya. Sehingga remaja tersebut berusaha untuk mencari persetujuan dari kelompoknya dengan berbagai cara yang dapat di gunakan,walaupun cara tersebut salah.

Remaja sangat peka terhadap nilai- nilai kelompok sebaya dalam penampilan,prilaku, dan sikap. Jarang seorangremaja yang memiliki kemauan ego yang kuat berdiri teguh,terpisah dari nilai-nilai kelompok sebayanya. Suasana hatinya sebagian besar dari perjuangan terus menerus untuk memenangkan peperangan itu dan untuk berada dalam persetujuan kelompok sebayanya.di kalangan remaja tauran antar pelajar biasanya di gunakan untuk menunjukkan siapa diantara mereka yang terkuat,baik itu antara individu dan kelompok.oleh karena itu remaja rawan terhadap tauran antar pelajar.

3.      Cara mencegah dan Mengatasi terjadinya tauran antar pelajar

1. Lingkungan keluarga dapat melakukan pencegahan terjadinya tawuran, dengan cara:

a.  Mengasuh anak dengan baik.

– Penuh kasih sayang
– Penanaman disiplin yang baik
– Ajarkan membedakan yang baik dan buruk
– Mengembangkan kemandirian, memberi kebebasan bertanggung jawab
– Mengembangkan harga diri anak, menghargai jika berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu

b.  Ciptakan suasana yang hangat dan bersahabat:

Hal ini membuat anak rindu untuk pulang ke rumah.

c.  Meluangkan waktu untuk kebersamaan
Orang tua menjadi contoh yang baik dengan tidak menunjukan perilaku agresif, seperti: memukul, menghina dan mencemooh.

d.  Memperkuat kehidupan beragama
Yang diutamakan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan memperkuat nilai moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.

e.  Melakukan pembatasan dalam menonton adegan film yang terdapat tindakan kekerasannya dan melakukan pemilahan permainan video game yang cocok dengan usianya.

f. Orang tua menciptakan suasana demokratis dalam keluarga, sehingga anak memiliki keterampilan social yang baik. Karena kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun anti-sosial).Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.

3. Sekolah juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran, diantaranya:

a.  Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik adalah yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan.

b.  Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas remaja.

c.  Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara “tradisional bermusuhan” itu.

SUMBER : http://cybercityindonesia.com/blogs/180794/12088

Leave a comment